Sabtu, 20 Agustus 2011

Kerajinan Gerabah di Desa Ouw Perimadona Ekonomi Rakyat yang Nyaris Punah

Oleh : Syarafudin Pattisahusiwa (dino)

Hampir semua daerah di Maluku memiliki potensi yang cukup menjanjikan, baik sumber daya alam, bahkan warisan leluhur yang dapat dikembangkan menjadi primadona ekonomi masyarakat. Satu diantaranya adalah kerajinan gerabah di Desa Ouw Kecamatan Saparua, Kebupaten Maluku Tengah. Kerajinan hasil warisan leluhur yang digeluti warga desa setempat, nyaris punah, namun kemudian bangkit kembali, setelah ada campur tangan salah satu Yayasan asal Belanda berupa penyalurkan sejumlah bantuan


TENCI TOMASOA (45) duduk di sudut gubuknya sambil memandang ke arah sebrang. Ibu enam anak ini, baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Tiga buah gerabah telah siap untuk dikeringkan. Matanya, mendadak melihat ke arah jalan sempit yang menuju ke gubuknya. Tak lama kemudian, dia pun beranjak dari tempat duduknya, setelah yakin beberapa orang yang dilihatnya itu menuju gubuk berukuran 5x8 meter miliknya yang berada di ujung desa tersebut.
Tangan-nya yang dilumuri tanah liat, cepat-cepat dibersihkan. Dia lalu menyapa para tamu yang baru saja tiba.
“Selamat pagi. Bagaimana ibu?,”ungkapnya singkat.
Raut wajahnya, seketika berubah saat sapaannya terjawab oleh para tamu. “Ibu katong mau beli sempe (wadah membuat papeda) dan pot angrek,” kata Nona Isti salah satu tamu yang datang di pagi itu dengan dialeg Ambon.
Tenci pun menyambut hangat. Dia lalu mencoba menunjuk satu per satu buah karyanya yang terpajang di beberapa rak kayu.
Tince rupanya, sudah lama menunggu para pembeli yang berkunjung ke tempatnya. Maklum dalam sepakan itu, hasil karyanya berupa gerabah belum juga terjual. Apalagi order dari konsumen.
Cerita Tince dengan ini merupakan sepenggal kisah yang sempat terrekam oleh ProFiles beberapa waktu lalu. Kondisi ini menggambarkan makin surutnya usaha kerajinan gerabah yang digeluti warga Desa Ouw sejak dulu. Padahal, gerabah hasil produksi warga setempat, pernah menembus pasar luar negeri. Antaranya ke Negeri Kincir Angin (Belanda).
Tince boleh dikata merupakan generasi ketiga yang menempuh profesi sebagai pembuat gerabah di desa yang letaknya sembilan kilo meter dari kota kecamatan Saparua. Dia baru delapan tahun menekuni profesi sebagai pembuat gerabah. Dengan sedikit bekal otodidak yang diwariskan para leluhurnya, dia terus mengasah kemampuannya mengola gumpalan tanah liat menjadi berbagai barang hiasan dan peralatan dapur. Sayangnya, hasil kesibukannya itu kerap kali harus terhenti, karena kering orderan.
“Biasanya gerabah yang kita produksi dijual keluar daerah. Misalnya, ke Pulau Ambon dan sekitarnya, namun itu bisa kita lakukan bila ada pesanan. Nah kalau tidak ada, terpaksa kita tidak berproduksi dan hanya mengandalkan stok yang tersisa untuk dipajang,”katanya.
Menurut Tince, dalam berproduksi gerabah, dirinya selalu dibantu beberapa anak dan suaminya. Sementara untuk bahan baku diakuinya tindak menjadi kendala, lantaran tanah liat untuk mengola berbagai jenis barang itu cukup tersedia di desa tempat tinggalnya.
“Tanah liat jenis ini, hanya ada di Desa Ouw, jadi kita tidak kesulitan untuk mendapatkannya,”tuturnya.
Biasanya untuk bahan baku tanah liat keluarga Tince membelinya di warga setempat. Harganya pun cukup terjangkau. Untuk satu karung plastik ukuran 25 kilo gram, biasanya dihargai Rp 10 ribu. Tanah liat sebanyak itu bisa digunakan untuk membuat gerabah sebanyak belasan buah.
“Tergantung ukuran pak, bila ukurannya besar bisanya membutuhkan tanah liat yang banyak pula,”katanya.
Diakuinya, yang menjadi kendala saat ini hanya masalah pasar yang tak menentu. Ditambah dengan peralatan yang belum memadai. Tince mengaku sejak memuali usaha itu, belum pernah mereka menerima bantuan dari pemerintah daerah. Padahal, potensi kerajinan gerabah yang digelutinya cukup menjanjikan.
Selama menekuni usaha tersebut, Tince hanya dibantu oleh Yayasan Titane dari Negara Belanda. Bantuan dari yayasan itu berupa meja putar sebanyak tiga unit yang biasanya dipakai untuk mengolah tanah liat menjadi barang yang diinginkan.
“Kalau seng ada meja ini, biasanya katong pake tangan. Dan selama ini belum ada bantuan dari pemerintah daerah, yang ada cuma dari Yayasan Titane di Belanda,” ungkapnya sambil tangannya menunjuk ke arah meja putar pemberian lembaga asal Belanda tersebut.
Keluhan Tince, cukup beralasan, karena selain kendala pasar, di Desa Ouw juga terdapat sekitar belasan kelompok kerajinan yang menekuni bidang ini.
Otomatis, terdapat persaingan dalam pemasaran hasil kerajinan mereka.
Mereka dibentuk atas permintaan pemerintah daerah lewat dinas terkait, guna mempermudah penyaluran bantuan dalam peningkatan usaha yang diwarisi para leluhur mereka menjadi home industry.
Sayangnya, harapan mereka untuk tersentuh bantuan pemerintah daerah, tidak begitu serius, pembinaan untuk pengembangan usaha mereka tidak berlangsung kontiyu. Ditambah lagi kurangya promosi pemerintah daerah akan hasil karya mereka, membuat usaha kerajinan gerabah di desa itu hanya berjalan seadanya, untuk menyambung hidup.
“Ya kadangkala lumayan, bila ada pesanan yang banyak. Hasilnya untuk keperluan keluarga saja, karena memang sulit untuk kita kembangkan lebih maju, bila tidak ada campur tangan pemerintah,”ungkapnya.
Nasib para perajin gerabah di Desa Ouw memang tidak sebagus, dengan para perajin gerabah di Pulau Jawa. Selain terkendala dengan masalah pasar, gerabah buatan warga Ouw pun harganya terbilang cukup murah. Sebut saja untuk sebuah pot anggrek, hanya dihargai sebesar Rp. 7.500. Tak heran bila Ny. Tince mengakui, hasil karyanya itu hanya sebatas untuk memenuhi kebutahan hidup.
Kondisi ini tentunya sangat berbeda jauh, bila dibandingkan dengan perajin di Pulau Jawa yang mematok harga diatas Rp. 50 ribu per buah. Maklum, perajin di Pulau Jawa memiliki akses pasar yang sangat menjanjikan, kemudian dibantu dengan campur tangan pemerintah yang cukup, dalam hal pembinaan dan pelatihan, kemudian ditambah bantuan berupa peralatan.
Padahal, untuk mendapatkan bentuk barang yang diinginkan, Tince dan perajin lainnya, harus duduk kurang lebih puluhan menit dengan tangan berlumur tanah liat. “Awalnya memang berat, butuh latihan yang lama. Tapi kemudian sudah terbiasa,”kata Alex salah satu perajin yang juga ditemui.
Sejarah pembuatan gerabah di Desa Ouw, Kecamatan Saparua, memang sudah tersohor hampir di seantero daerah Maluku. Konon, dahulu kala para leluhur di desa itu, sudah memiliki kepandaian mengolah tanah liat menjadi berbagai peralatan rumah tangga. Hampir serupa dengan kerajinan pandai besi di Desa Iha, Kecamatan Saparua, yang juga kini diwariskan oleh para generasi berikutnya.
Kini home industri yang memiliki potensi ekonomi bagi masyarakat desa dan juga mampu mendatangkan pendapatan bagi daerah bila dikeloala dengan maksimal itu, terancam punah, bila tidak mendapatkan perhatian serius dari pemerintah daerah dan pihak-pihak terkait lainnya. Apalagi, untuk memasarkan hasil produksi ke kota Ambon, tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan para perajin, sehingga ancaman terhentinya produksi gerabah di desa tersebut makin terbuka, menyusul makin keringnya order dari konsumen dan bantuan kepada perajin dari pihak-pihak terkait.
Menyikapi persoalan pelik ini, Tince, Alex dan perajin setempat hanya bisa berharap, agar suatu saat hasil produksi gerabah yang dilakoni mampu kembali menembus pasar di tingkat nasional bahkan internasional. Apalagi, makin kondusifnya daerah Maluku pascakonflik ini.
Kembali Ke Atas Go down
Lihat profil user

Kerajinan Gerabah Wujud Rasa Seni Bangsa Indonesia

Kerajinan gerabah yang menjadi bagian dari kekayaan ragam budaya Indonesia perlu terobosan dalam bentuk dan desain supaya memiliki daya saing dengan produk serupa dari negara lain. Dengan demikian, masyarakat yang memiliki tradisi turun-temurun dalam pembuatan Kerajinan gerabah dapat terus berkreasi dan menjadikannya sumber penghidupan yang dapat diandalkan. Kerajinan Lombok Island dan Lombok Island


Sebenarnya mereka mampu membuat desain apa pun dan mudah belajar. Tapi memang perlu didorong untuk bisa berkreasi tidak dalam model tradisional saja, namun bisa memadukan dengan selera masyarakat yang berkembang
Contohkan, pada 1990-an, gerabah asal Lombok menjadi produk primadona bagi daerah Lombok, Nusa Tenggara Barat. Sentra-sentra kerajinan gerabah (Lombok Handicraft) muncul di Pulau Lombok, di antaranya Banyumelek di Lombok Barat, Penujak di Lombok Tengah, dan Masbagik di Lombok Timur. Pada saat itu, gerabah Lombok (Kerajinan Lombok ) mencapai puluhan negara tujuan ekspor. Namun, lama-kelamaan pembeli mulai jenuh dengan Kerajinan Lombok model gerabah yang ada. Permintaan Handicraft gerabah Lombok pun terus menurun dan tentu saja ini berdampak tidak baik terhadap ekonomi masyarakat. Lihat Lombok Handicraft Wholesale dan Kerajinan Lombok Island. Guna merangsang kembali gairah para pengrajin, YPLL dan British Council mengadakan program pengembangan desain Handicraft gerabah Lombok bagi pengrajin lokal dengan
mengundang desainer keramik asal Inggris, Jhan Stanley. Pelatihan ini telah menghasilkan lebih dari 200 prototipe gerabah yang lebih menarik, tidak melulu seperti yang lazim dibuat pengrajin di daerah ini
Temukan Info lebih lengkap mengenai kerajinan gerabah

http://domba-bunting.blogspot.com/2011/03/kerajinan-gerabah-wujud-rasa-seni.html

Faktor - faktor Yang Mendorong Wanita Bekerja pada Usaha Kerajinan Gerabah Di Desa Binoh Kelurahan Ubung Kaja Denpasar

Abstract


Usaha kerajina gerabah di Desa Binoh merupakan usaha industri rumah tangga yang sifatnya sudah turun-temurun. Pembuatan kerajinan ini merupakan mata pencaharian yang cukup mendapat perhatian dari para kaum wanita di desa ini. Usaha kerajinan ini ditekuni oleh mereka yang sudah berumah tangga, maupun yang masih lajang. Sesuai dengan hasil surve yang diperoleh dilapangan, ada beberapa faktor pendorong dari kaum wanita untuk bekerja pada usaha kerajinan gerabah antara lain:
1.      Faktor Ekonomi
Pembangunan pertanian di Indonesia mampu meningkatkan pendapatan petani khususnya dan penduduk pedesaan pada umumnya. Ini terbukti dengan semakin kecilnya jumlah penduduk miskin di pedesaan. Disamping itu perlu diperhatikan masih banyaknya penduduk yang memusatkan bekerja di sektor pertanian.

Hal ini menyebabkan tambahan tenaga kerja disektor pertanian lebih besar dari kepemilikan lahan.
Lahan pertanian yang kian hari semakin sempit tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga petani yang bersangkutan. Hal ini berarti rumah tangga petani harus meningkatkan pendapatan mereka melalui kegiatan  diluar sektor pertanian.
Pekerjaan-pekerjaan di luar sektor pertanian, seperti misalnya pekerjaan dalam industri rumah tangga atau industri kecil, sudah dikenal di daerah pedesaan sejak lama. Keberadaan pekerjaan di luar sektor pertanian ini penting artinya bagi rumah tangga petani. Hal ini berkaitan dengan sifat musim kegiatan di bidang pertanian. Pada umumnya keluarga petani membutuhkan pekerjaan di luar sektor pertanian untuk menambah penghasialannya. ( Mubyanto, 1985: 45).
Demikian pula halnya keadaan penduduk di Desa Binoh, kepemilikan lahan pertanian semakin sempit, berubah menjadi kawasan perumahan. Kepemilikan lahan rata-rata 0,16 Ha per kepala keluarga. Melihat kenyataan yang demikian, pendapatan dari sektor pertanian tidak memungkinkan lagi sebagai penghasilan utama untuk memenuhi kebutuhan hidup. Karena itu bukan saja kaum laki-lakinya, kaum wanitanya pun dituntut untuk mencari nafkah di sektor lain. Menurut informasi yang diterima, kerajinan gerabah yang ada di desa ini sudah ada sejak dulu, mereka tidak bisa menyebutkan angka dan tahunnya, karena mereka mewarisi kerajinan ini sejak lahir. Hal ini memungkinkan para wanita di desa ini tidak banyak terlibat dalam pekerjaan pertanian sehingga mereka banyak mempunyai waktu luang setelah selesai mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Hanya saja waktu itu pekerjaan mereka bersifat kecil-kecilan. Peralatan yang dipergunakan dalam pembuatan gerabah masih sangat sederhana, begitu pula bentuk-bentuk barang yang dibuat tidak banyak variasi dan pemasaarannya masih bersifat lokal.
            Sejalan dengan perkembangan sektor pariwisata khususnya industri kecil dan industri kerajinan rumah tangga berkembang cukup pesat. Karena pada hakekatnya sektor pariwisata merupakan salah satu sektor yang kegiatannya bersifat padat karya, artinya memiliki daya serap yang tinggi terhadap pengangguran dan dapat meningkatkan pendapatan penduduk. Hal ini dapat dipahami karena pengembangan sektor pariwisata dapat menggerakkan sektor ekonomi yang lain dengan jangkauan yang sangat luas.
            Dengan berkembangnya sektor pariwisata di Daerah Bali. Industri kerajinan yang ada, kira-kira sejak tahun 1975, hasil karya pengrajin mulai mendapatkan perhatian dari pihak konsumen, dan Kanwil Perindustrian.
            Kerajinan di Desa ini ditampung dalam suatu wadah yaitu kelompok pengrajin ”Karya Amertha” yang bergabung sebanyak 46 orang pengrajin dengan 145 orang tenaga kerja. Untuk pengembangan disain para pengrajin mendapat binaan dari lembaga-lembaga seni terkait, dikenalkan berbagai teknik pembuatan gerabah dan teknik dekorasi. BPPT UPT Bali yang bergerak dalam pengembangan keramik dan porselin Bali, turut andil dalam pemberian bantuan peralatan, Dengan mendapatkan bantuan peralatan tersebut, memudahkan pengrajin dalam pengerjaannya. Pada tahun 2000 mendapatkan pelatihan dari PSSRD Univ Udayana dan mendapat binaan berupa pengembangan disain dari ISI Denpasar. Dengan mendapatkan binaan dari berbagai pihak, maka kerajinan gerabah yang dulunya merupakan pekerjaan sampingan, kini bagi kaum wanita di Desa Binoh berubah menjadi pekerjaan pokok.
            Motivasi untuk bekerja setiap individu berbeda-beda satu dengan yang lainnya, secara pisikologis yang memotivasi seseorang untuk melakukan pekerjaan adalah untuk memperoleh uang. Pada kasus seperti ini wanita pengrajin di Desa Binoh, mereka bekerja semata-mata untuk memperoleh uang karena keadaan sosial ekonomi mereka relativ rendah, sehingga motivasi utama untuk bekerja adalah mendapatkan uang, guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
            Para wanita di desa ini, melakukan pekerjaan membuat keramik,  setelah pekerjaan rumah tangga mereka selesai. Seperti industri kerajinan lainnya, penerapan upah yang diberikan pada pengrajin bersifat borongan, dimana sistem ini akan menguntungkan kedua belah pihak antara pengusaha dan pengrajin. Dalam menentukan harga, untuk upah pengrajin dihitung dari jumlah yang mereka bisa buat perhari dan dihitung dari besar kecilnya barang yang dibuat, dan upah yang diterima tergantung dari banyaknya barang yang dibuat, besar kecilnya barang dan banyaknya waktu yang mereka pergunakan untuk bekerja.
            Data di lapangan menunjukkan perbedaan antara wanita yang sudah berkeluarga dengan yang masih lajang, bagi wanita yang masih lajang pendapatan mereka lebih besar, dibandingkan dengan yang sudah berkeluarga. Misalnya dalam pembuatan barang gerabah, seperti gerabah untuk pot bunga memiliki diameter 40 cm, harga upah perbarang Rp 2500, per hari mereka bisa membuat sebanyak 20-25 buah, berarti penghasilan mereka per hari Rp 50.000 - Rp 62.500. Gerabah dengan diameter 60 cm, dihitung perbarang @ Rp 3.500, per hari satu orang pengrajin bisa menyelesaikan 10-15 buah, jadi upah yang diterima per orang Rp.35.000-Rp.52.500. Dilihat dari penghasilan wanita lajang dalam hal ini, penghasilan mereka lebih banyak, karena mereka bisa bekerja penuh waktu, karena wanita lajang tidak terikat dengan kegiatan rumah tangga.
            Barang-barang yang dihasilkan/dibuat selain paso juga membuat barang-barang gerabah yang lain. Bila dilihat dari upah pengrajin wanita ini, rata-rata perbulan mereka mendapatkan upah sebesar Rp.1.312.500-Rp.1.562.500, hal ini dihitung bila mereka bekerja penuh selama 25 hari.
            Pendapatan tersebut biasanya dipergunakan untuk menopang pendapatan ekonomi keleuarganya, seperti untuk membayar sekolah anak-anak, untuk kegiatan sosial dan pribadi. Begitu pula bagi pengrajin yang masih lajang pendapatan mereka dipergunakan untuk keperluan pribadi dan sebagian diserahkan kepada orang tua.
2.  Faktor Pendidikan dan Kesempatan Kerja
Dewasa ini ada bangsa-bangsa mengalami fenomena krisis global, tidak terkecuali bangsa indonesia juga terkena imbasnya, banyaknya terjadi PHK terhadap sejumlah kariyawan, sehingga muncul fenomena sulitnya mencari kerja. Di samping itu dimasa sekarang ada kecendrungan pencari kerja lebih banyak kaum wanita dibandingkan dengan pria. Dalam hal ini setiap 97% penduduk wanita berusia 10 tahun keatas berpendidikan SD dan tamat SD. Semenjak anak laki-laki dan perempuan mendapatkan kesempatan yang sama untuk menempuh pendidikan dan pengajaran secara bersama-sama, maka makin terbukalah kesempatan bagi wanita untuk mengikuti pendidikan.
Jumlah kaum wanita mengikuti pendidikan menunjukkan peningkatan. Pendidikan kaum wanita di desa ini rata-rata berpendidikan SD, SMP, SMA dan ada beberapa yang melanjutkan ke perguruan tinggi. Bagi mereka yang hanya berpendidikan SD-SMP, biasanya memilih pekerjaan di sektor informal seperti menjadi pedagang/saudagar, buruh bangunan, buruh tani, dan sebagai pengrajin gerabah.
Kerajinan gerabah di desa ini, dilakukan para kaum wanita tanpa perlu memiliki keahlian khusus, karena mereka biasa mengerjakan pekerjaan ini pengaruh lingkungan yang dari kecil telah bergelut di bidang kerajinan ini. Pekerjaan membuat kerajinan, menjadi pilihan bagi kaum wanita Desa Binoh karena tidak memerlukan pendidikan tinggi, proses belajar cukup dengan melihat, mencoba mengerjakan, apa bila sudah biasa pekerjaan ini menjadi alternatif.
Hasil wawancara di lapangan, para wanita pengrajin yang masih bersekolah biasanya mereka melakukan pekerjaan ini sepulang sekolah, dan bagi ibu-ibu yang sudah berumah tangga memilih pekerjaan ini, karena mereka bisa bekerja di rumah dan dilakukan setelah mereka selesai beraktifitas urusan rumah tangga, pekerjaan ini juga tidak terikat oleh waktu dan tidak memerlukan pendidikan tinggi, sehingga industri kerajinan ini, memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi wanita untuk berkreativitas.
3. Fakto Waktu
            Dalam kehidupan sehari-hari kaum wanita dan pria memiliki perbedaan peranan, kaum wanita memiliki peranan ganda yaitu sebagai ibu rumah tangga dan peran sebagai wanita karier. Dalam menghadapi dilema ini, anatara memilih menjadi ibu rumah tangga atau berkarier di luar aktivitas sehari-hari. Pertanyaan itu sering membuat kebingungan antara memilih bekerja, tanpa melepas tanggung jawab rumah tangga.
            Pertanyaan tersebut di atas dapat terjawab dari apa yang diketemukan di lapangan ada dua tipe peranan wanita yaitu:
1.      Pola peranan digambarkan wanita seluruhnya hanya dalam pengerjaan pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan pemeliharaan kebutuhan hidup semua anggota keluarga dan rumah tangganya.
2.      Pola wanita memiliki peran ganda yaitu: sebagai pengurus rumah tangga dan mencari nafkah.
Dalam kaitannya dengan dua peran tersebut, wanita pengrajin gerabah di Desa Binoh, menunjukkan adanya dua peran ganda yaitu dalam setatus sebagai ibu rumah tangga dan sebagai pencari nafkah  sebagai pengrajin gerabah.
Pekerjaan rumah tangga bagi wanita merupakan suatu hal yang kompleks, seperti pekerjaan dapur, mengurus anak dan suami, merawat rumah dan sebagainya, semua pekerjaan tersebut memerlukan banyak waktu, sehingga bagi wanita yang tidak bisa membagi waktu, tidak akan bisa mengambil pekerjaan sampingan. Sisa waktu luang yang ada inilah dipergunakan bagi sebagian wanita di desa ini mengambil pekerjaan sebagai pengrajin.
Pekerjaan sebagai pengrajin diambil dari waktu luang mereka, karena sistem pembayaran yang diambil borongan, yakni upah yang diperoleh dari banyaknya produksi yang mereka dapatkan. Dengan sistem borongan ini, memberikan kesempatan kerja bagi wanita yang sudah berkeluarga untuk mengambil pekerjaan ini. Hal ini dilakukan karena tidak terikat oleh waktu.
Para wanita pengrajin bekerja setelah selesai melakukan pekerjaan rumah tangga, baik yang bekerja di tempat pengusaha kerajinan atau yang bekerja di rumah sendiri, mereka mulai bekerja kira-kira jam 7.30-17.00 wita, pagi sebelum beraktivitas membuat gerabah dan sore setelah bekerja, mereka melakukan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga.
Dari wawancara yang penulis lakukan terhadap beberapa wanita pengrajin, mereka mengatakan bahwa melakukan pekerjaan membuat gerabah ini, merupakan suatu yang sangat menyenangkan dan tidak menjadi beban. Hal ini di sebabkan karena mereka bukan saja mendapatkan uang, tetapi mereka bekerja tidak terikat oleh waktu dan tidak meninggalkan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga.

http://jurnal.isi-dps.ac.id/index.php/artikel/article/view/198


Perajin Tua Pembuat Gerabah Tojan

Abstract


Gerabah Tojan adalah sebuah sebutan gerabah hasil perajin di Banjar Satra Kecamatan Klungkung Kabupaten Klungkung Bali. Perajin di desa ini lokasinya mudah dijangkau, karena dekat perkotaan, berada diperumahan penduduk dengan kondisi desa yang sudah maju dilihat dari bangunan-bangunan fisik yang ada di desa tersebut. Namun sebaliknya, kondisi kerajinan gerabah di desa ini terlihat memprihatinkan dan masih bisa bertahan sampai saat ini, walaupun perajinnya terus berkurang dari jaman kejaman. Saat penelitian ini dilakukan perajin gerabah ini hanya tinggal dua keluarga yang masih ada hubungan kekeluargaan. Dua keluarga tersebut terdiri dari 4 orang wanita tua yang berumur di atas enampuluhan, dengan kondisi badan yang sudah renta masih mampu mengerjakan kerajinan gerabah dari awal pembuatan bahan sampai pembakaran. Semua pekerjaan tersebut mereka lakukan sendiri tanpa bantuan anak atau cucunya. Mereka menyebutkan anak dan cucunya saat ini tidak ada yang mau meneruskan usaha pembuatan gerabah, karena mereka menganggap kurang menguntungkan untuk kondisi saat ini.  Gerabah yang dikerjakan berawal dari kebutuhan masyarakat sebagai perlengkapan upacara agama, namun sekarang berkembang sesuai perekbangan jaman. Namun walaupun demikian seolah mereka mereka tidak bisa beranjak dari kemiskinan.

            Lokasi pembuatan gerabah di tengah pemukiman penduduk kerapkali menimbulkan permasalahan pada warga sekitarnya. Betapa tidak, pada saat pembakaran gerabah, asap hasil pembakaran mengganggu pemukiman sekitarnya, asapnya yang dapat tebal dapat mengganggu pernapasan warga. Pembakaran yang menggunakan bahan bakar padat seperti  jerami, kayu bakar dan bahan-bahan lain seperti pelepah pisang, daun kelapa kering, dan sebagainya akan menghasilkan asap yang tebal serta dapat mengganggu pernapasan. Pembakaran gerabah perajin ini termasuk menggunakan tunggu ladang, karena proses pembakaran dilakukan di alam terbuka dengan cara menyusun benda-benda gerabah sesuai besarannya dan terakhir ditumpuk dengan bahan bakar. Berbeda dengan proses pembakaran gerabah pada perajin lain di Bali dilakukan pada ruang tertutup dengan tungku bak atau tungku yang lebih modern.  Jenis tungku ladang ini dibuat dengan tumpukan bahan seperti batu, bata, batako, genteng dan bahan-bahan sisa bangunan lainnya dengan perekat campuran pasir dan semen (PC). Pada bagian tengah tunggku dibuat lorong berfungsi sebagai aliran api. Gerabah yang sudah tersusun di atasnya ditutup dengan bahan bakar dan penyulutan api dilakukan pada mulut tungku pada bagian samping. Pengisian bahan bakar dilakukan berkali-kali sampai gerabah yang dibakar merah. Maka dari itu perajin tidak bisa meninggalkan tunggu selama proses pembakaran berlangsung. Proses pembakaran selesai setelah gerabah matang ditentukan oleh merahnya gerabah tersebut. Pembakaran tersebut berlangsung 1-1,5 jam. Hasil pembakaran yang baik dapat dilihat dari merahnya pada permukaan gerabah merata dan suara badan gerabah nyaring jika dipukul dengan benda keras.

            Perajin membeli bahan baku dan mengolahnya sendiri menjadi bahan yang siap pakai. Teknik pembentukan dilakukan dengan teknik putar di atas sebuah bundaran kayu dalam istilah keramiknya bakaran tinggi disebut alat putar tangan (handwheel). Jenis-jenis produk yang dibuat antara lain benda-benda untuk keperluan upacara seperti coblong, payuk pere, senden dan sebagainya. Benda-benda tersebut sangat dibutuhkan oleh masyarakat sekitar dengan harga relatif murah. Mereka juga mengerjakan alat peleburan perak yang dipesan oleh perajin perak yang berkembang di Kabupaten Klungkung. Penulis  melihat karena murahnya harga dan terbatasnya kemampuan perajin berproduksi maka hasil yang didapat dari hasil kerajinan menjadi rendah, sehingga mereka sulit beranjak dari kata ”kemiskinan”   Mereka memasarkan hasil produksinya di Pasar Klungkung dan belum bisa melayani jika ada pesanan dalam jumlah yang lebih besar. Kondisi perajin yang sudah tua merupakan kendala untuk berkembang lebih maju, walaupun peluang untuk berkembang masih terbuka.
            Mereka berharap ada perhatian dari instansi terkait untuk membantu  paling tidak kerajinan gerabah ini terus bisa bertahan bahkan berkembang lagi dapat dipandang sebagai warisan budaya masa lalu. Jika tidak ada campur tangan pemerintah dalam mengatasi kerajinan ini lambat laun akan hilang. Karena mereka menuturkan keturunannya tidak ada yang mau meneruskan kegiatan membuat gerabah ini.

Beberapa hasil kerajinan gerabah Tojan antara lain:

1.      Alas peleburan perak.
2.      Coblong, senden dan pulu.
3.      Caratan kecil, dijemur setelah dibentuk.
4.      Perajin sedang melakukan proses pembentukan
5.      Perajin sedang mempersiapkan proses pembakaran gerabah di halaman rumah.


http://jurnal.isi-dps.ac.id/index.php/artikel/article/view/559

Artikel: Kerajinan - Keramik, Kasongan

Patung keramik itu memang lucu, postur tubuh bulat pendek ditambah perut buncit, sangatlah pantas jika dijadikan pajangan rumah untuk menambah kesan santai. Dan masih banyak lagi berderet patung-patung keramik lain yang pantas dibawa pulang dari tempat ini, Kasongan - Yogyakarta.


Desa Kasongan memang identik dengan keramik dan gerabah, dan merupakan sentra industri kerajinan keramik/gerabah paling besar di Yogyakarta. Sebagian besar penduduknya memang bermata pencaharian sebagai pengrajin keramik dan telah menghasilkan berbagai macam produk mulai dari dari guci, jambangan, vas bunga, patung hewan, tempat lilin, dll. Pangsa pasar produk keramik Kasongan hampir delapanpuluh persen luar negeri, antara lain ke Malaysia, Singapura, Korea, Jepang, Amerika Serikat, Belanda, dll. Dalam perkembangannya Desa Kasongan, yang dulu menjadi tempat produksi, kini berkembang menjadi tempat pemasaran setelah berdiri kios-kios show-room.







[navigasi.net] Kerajinan - Keramik, Kasongan

Jika bertandang ke yogyakarta, sempatkanlah diri untuk datang ke wilayah ini karena letaknya tidak jauh dari pusat kota yakni sekitar 8 km ke arah barat daya. Dan untuk mengenal lebih dekat dengan sentra industri ini, berjalan kaki adalah pilihan terbaik, karena kita bisa keluar masuk ke bagian-bagian proses pembuatan keramik, mulai dari pengolahan tanah, pembentukan hingga proses pembakaran dan pewarnaan. Di sini kita akan melihat puluhan bahkan ratusan keramik yang siap dipasarkan.
Pada dasarnya proses pembuatan keramik/gerabah ini bisa dibagi dalam dua bagian besar, yakni dengan cara cetak untuk pembuatan dalam jumlah banyak (masal) atau langsung dengan tangan. Untuk proses pembuatan dengan menggunakan tangan pada keramik yang berbentuk silinder (jambangan, pot, guci), dilakukan dengan menambahkan sedikit demi sedikit tanah liat diatas tempat yang bisa diputar. Salah satu tangan pengrajin akan berada disisi dalam sementara yang lainnya berada diluar. Dengan memutar alas tersebut, otomatis tanah yang ada diatas akan membentuk silinder dengan besaran diameter dan ketebalan yang diatur melalui proses penekanan dan penarikan tanah yang ada pada kedua telapak tangan pengrajin.







[navigasi.net] Kerajinan - Keramik, Kasongan

Konon pada masa krisis moneter beberapa waktu yang lalu, pengrajin didaerah ini meraup untung yang besar dari lonjakan mata uang dollar AS. Harga keramik/gerabah menjadi murah dimata pembeli luar negeri dan mampu menaikkan ekspor hingga 50-100%. Hal ini tentu saja memberikan keuntungan yang signifikan bagi pengusaha maupun pemasar industri keramik/gerabah ini. Permintaan pun juga semakin bervariasi dari semula yang hanya berupa souvenir dan aksesori rumah tangga meningkat pada permintaan untuk jenis mebel, seperti meja dan kursi.
Jadi kalau anda berkesempatan bertandang ke yogyakarta, tak ada salahnya anda mampir sebentar ke Kasongan untuk melihat-lihat dan membawa pulang berbagi aksesories guna mempercantik interier/eksterior rumah/kantor anda


http://www.navigasi.net/goart.php?a=krkasong

Membuat benda seni rupa murni 3 dimensi

MEMBUAT VAS BUNGA DARI TANAH LIAT

Kali ini siswa kelas 3 saya ajak untuk membuat salah satu bentuk seni rupa murni 3 dimensi. Kali ini saya ajak mereka membuat vas bunga yang berasal dari tanah liat. Adapun bahan dan alat yang dibutuhkan sebagai berikut: 

BAHAN DAN ALAT
 1. Tanah liat ukuran 1/4 atau 1/5 kg.
 2. Alas berupa triplek berukuran 40cm x 40cm atau berupa  potongan kardus bekas aqua atau  kantong  
     plastik ukuran besar.
 3. Celemek.
 4. Sedikit air dalam wadah gelas atau mangkok.
 5. Kuas cat air.
 6. Aneka macam biji-bijian, seperti biji jagung, biji kacang hijau, biji kacang kedelai, biji kacang merah dsb.
 7. Lem UHU.

CARA MEMBUAT :

1.Tanah liat di bentuk seperti vas bunga atau sesuai keinginan.
2. Karena cepat mengeras sebaiknya tanah liat yang sedang dibentuk jangan terlalu lama didiamkan.
3. Air berfungsi untuk menghaluskan tanah liat setelah tanah liat selesai dibentuk. Atau sebagai pelekat tanah liat seperti halnya lem yang berfungsi sebagai alat pelekat pada kertas. Saat membasahkan tanah liat cukup dioles sedikit dengan ujung jari yang sudah dibasahi atau menggunakan kuas.
4. Tanah liat yang sudah selesai dibentuk di jemur , setelah kering dihias dengan kolase dari aneka macam biji-bijian yang sudah disediakan. Sebelumnya membuat pola gambar terlebih dahulu pada vas bunga. Apabila menginginkan hasil pengeringan yang lebih baik dapat dilakukan pembakaran dengan cara di oven.

INSPIRASI MENGANTARKAN KARAJINAN GERABAH BANTUL KE PASAR DUNIA


Kerajinan Gerabah merupakan satu bentuk seni dengan nilai-nilai tertentu. Untuk bisa merebut dan mempertahankan pasar Gerabah, dibutuhkan inspirasi atau ide yang harus selalu baru. Seperti yang dilakukan oleh Nita, pengrajin Gerabah asal Plered yang pindah dan membesarkan bisnis Gerabahnya di Bantul, Yogyakarta.

BERKOMPETISI DENGAN INSPIRASI ALA PENGRAJIN GERABAH BANTUL

Berkompetisi dengan inspirasi. Mungkin ungkapan tersebut yang tepat bagi para pengrajin gerabah di Desa Wisata Kasongan, Bangunjiwo, Bantul, Yogyakarta. Untuk bisa 'mencuri' pasar kerajinan yang cukup banyak pemainnya, maka Nita, pengrajin asal Plered pun selalu mengandalkan inspirasinya. Berbekal inspirasinya itu, Nita pun bisa menangguk omzet hingga ratusan juta setiap bulannya.

Nita, mengawali usahanya di Plered setelah pindah ke kawasan ini sejak tahun 1999 silam karena tertarik pasarnya yang bagus dibandingkan kota asalnya tersebut. "Pasarnya lebih bagus di sini. Di sana (Plered), jarang banyak orang luar (asing). Kalau dibandingkan, di sana bisa untung 20%, kalau di sini bisa 80%," ujar perempuan kelahiran 15 Mei 1971 ini kepada detikFinance akhir pekan lalu di Bantul, Yogyakarta.

Modal awalnya sendiri berasal dari para pembelinya terdahulu. Kemudian, untuk meningkatkan produksi dan keuntungan, dia mulai meminjam kepada bank. "Tambah order, kita cari dana, awalnya Rp 20 juta, Rp 60 juta, Rp 80 juta, masih ke bank," ujar ibu 3 orang anak ini.

Dari modal tersebut, Nita memperoleh omzet bisa mencapai Rp 100 juta per bulan dengan variasi harga dan jumlah pesanan yang berbeda-beda tiap harinya. "Kita produksi tergantung pesanan walaupun ada beberapa yang dibuat untuk stok. Kalau ramai seneng, kita buat banyak, tapi kalau lagi sepi,kita kurangi produksinya," jelasnya.

Karyawan yang membantu Nita memproduksi kerajinan dari gerabah ini setiap harinya berjumlah 9 orang. Namun, jika pesanan sedang menumpuk, dirinya dan suami menyewa beberapa karyawan borongan. Uniknya, Nita hanya mempercayakan produksi gerabahnya di tangan para pemuda dari daerah sekitar. "Kalau banyak ya diperbanyak orangnya, kalau sedikit dikurangi. Tapi harus dari sini karena tidak tahu kenapa mereka punya nilai seni yang baik dibandingkan ngambil orang di luar daerah. Dan setiap orang pegang beberapa model (keahlian) nya sendiri," jelasnya.

Untuk bersaing dengan para pengrajin lain di daerah ini, Nita mengaku harus berpacu dengan inspirasi untuk menciptakan model-model baru agar berbeda dengan yang lain. "Motif-motifnya jangan sampai sama dengan orang lain. Kita bikin motif baru, baru dipasarkan kepada para tamu. Tapi harus bikin model baru lagi karena di sini pasti cepat ditiru oleh yang lain," ujarnya.

Nita merupakan pengrajin spesialisasi model primitif. Inspirasinya berasal dari cerita-cerita tempo dulu bahkan zaman purbakala. "Inspirasinya motif primitif, kalau nggak begitu orang nggak senang. Apalagi yang ada ceritanya. Seperti bentuk Budha, kan bisa banyak model, dan itu ide saya dan bapak," tegasnya.

Dengan ide originalnya itu, Nita bisa memasarkan kerajinannya di pasar nasional dan internasional. Para pembeli ada yang kontinyu memesan kerajinan gerabahnya yang harganya berkisar antara Rp 10 ribu hingga Rp 400 ribu. "Pasar lokal itu di Jakarta, Bali, Surabaya, di Sumatera ada Bengkulu, Jambi, di Kalimantan ada Pontianak, kalau luar, kita ada Jepang, Australia,dan Belanda," jelasnya.

Nita mengatakan bahan baku gerabahnya sendiri berasal dari kawasan ini. Jadi tidak ada kendala sedikit juga mengenai bahan baku. Setelah mendapatkan bahan baku, Nita tinggal bekerja keras untuk menciptakan model yang unik. Kemudian, dia membuat desainnya lalu membuat cetakannya. Setelah itu, baru diproduksi massal. Gerabah dicetak kemudian dibakar. Tungku pembakaran yang digunakan Nita masih sangat tradisional dan seadanya. Namun, dengan peralatan tersebut Nita bisa memproduksi gerabah yang bernilai seni tinggi dan diakui di dunia internasional.

http://www.bunyu-online.com/2010/11/inspirasi-mengantarkan-kerajinan.html