Sabtu, 20 Agustus 2011

Kerajinan Gerabah di Desa Ouw Perimadona Ekonomi Rakyat yang Nyaris Punah

Oleh : Syarafudin Pattisahusiwa (dino)

Hampir semua daerah di Maluku memiliki potensi yang cukup menjanjikan, baik sumber daya alam, bahkan warisan leluhur yang dapat dikembangkan menjadi primadona ekonomi masyarakat. Satu diantaranya adalah kerajinan gerabah di Desa Ouw Kecamatan Saparua, Kebupaten Maluku Tengah. Kerajinan hasil warisan leluhur yang digeluti warga desa setempat, nyaris punah, namun kemudian bangkit kembali, setelah ada campur tangan salah satu Yayasan asal Belanda berupa penyalurkan sejumlah bantuan


TENCI TOMASOA (45) duduk di sudut gubuknya sambil memandang ke arah sebrang. Ibu enam anak ini, baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Tiga buah gerabah telah siap untuk dikeringkan. Matanya, mendadak melihat ke arah jalan sempit yang menuju ke gubuknya. Tak lama kemudian, dia pun beranjak dari tempat duduknya, setelah yakin beberapa orang yang dilihatnya itu menuju gubuk berukuran 5x8 meter miliknya yang berada di ujung desa tersebut.
Tangan-nya yang dilumuri tanah liat, cepat-cepat dibersihkan. Dia lalu menyapa para tamu yang baru saja tiba.
“Selamat pagi. Bagaimana ibu?,”ungkapnya singkat.
Raut wajahnya, seketika berubah saat sapaannya terjawab oleh para tamu. “Ibu katong mau beli sempe (wadah membuat papeda) dan pot angrek,” kata Nona Isti salah satu tamu yang datang di pagi itu dengan dialeg Ambon.
Tenci pun menyambut hangat. Dia lalu mencoba menunjuk satu per satu buah karyanya yang terpajang di beberapa rak kayu.
Tince rupanya, sudah lama menunggu para pembeli yang berkunjung ke tempatnya. Maklum dalam sepakan itu, hasil karyanya berupa gerabah belum juga terjual. Apalagi order dari konsumen.
Cerita Tince dengan ini merupakan sepenggal kisah yang sempat terrekam oleh ProFiles beberapa waktu lalu. Kondisi ini menggambarkan makin surutnya usaha kerajinan gerabah yang digeluti warga Desa Ouw sejak dulu. Padahal, gerabah hasil produksi warga setempat, pernah menembus pasar luar negeri. Antaranya ke Negeri Kincir Angin (Belanda).
Tince boleh dikata merupakan generasi ketiga yang menempuh profesi sebagai pembuat gerabah di desa yang letaknya sembilan kilo meter dari kota kecamatan Saparua. Dia baru delapan tahun menekuni profesi sebagai pembuat gerabah. Dengan sedikit bekal otodidak yang diwariskan para leluhurnya, dia terus mengasah kemampuannya mengola gumpalan tanah liat menjadi berbagai barang hiasan dan peralatan dapur. Sayangnya, hasil kesibukannya itu kerap kali harus terhenti, karena kering orderan.
“Biasanya gerabah yang kita produksi dijual keluar daerah. Misalnya, ke Pulau Ambon dan sekitarnya, namun itu bisa kita lakukan bila ada pesanan. Nah kalau tidak ada, terpaksa kita tidak berproduksi dan hanya mengandalkan stok yang tersisa untuk dipajang,”katanya.
Menurut Tince, dalam berproduksi gerabah, dirinya selalu dibantu beberapa anak dan suaminya. Sementara untuk bahan baku diakuinya tindak menjadi kendala, lantaran tanah liat untuk mengola berbagai jenis barang itu cukup tersedia di desa tempat tinggalnya.
“Tanah liat jenis ini, hanya ada di Desa Ouw, jadi kita tidak kesulitan untuk mendapatkannya,”tuturnya.
Biasanya untuk bahan baku tanah liat keluarga Tince membelinya di warga setempat. Harganya pun cukup terjangkau. Untuk satu karung plastik ukuran 25 kilo gram, biasanya dihargai Rp 10 ribu. Tanah liat sebanyak itu bisa digunakan untuk membuat gerabah sebanyak belasan buah.
“Tergantung ukuran pak, bila ukurannya besar bisanya membutuhkan tanah liat yang banyak pula,”katanya.
Diakuinya, yang menjadi kendala saat ini hanya masalah pasar yang tak menentu. Ditambah dengan peralatan yang belum memadai. Tince mengaku sejak memuali usaha itu, belum pernah mereka menerima bantuan dari pemerintah daerah. Padahal, potensi kerajinan gerabah yang digelutinya cukup menjanjikan.
Selama menekuni usaha tersebut, Tince hanya dibantu oleh Yayasan Titane dari Negara Belanda. Bantuan dari yayasan itu berupa meja putar sebanyak tiga unit yang biasanya dipakai untuk mengolah tanah liat menjadi barang yang diinginkan.
“Kalau seng ada meja ini, biasanya katong pake tangan. Dan selama ini belum ada bantuan dari pemerintah daerah, yang ada cuma dari Yayasan Titane di Belanda,” ungkapnya sambil tangannya menunjuk ke arah meja putar pemberian lembaga asal Belanda tersebut.
Keluhan Tince, cukup beralasan, karena selain kendala pasar, di Desa Ouw juga terdapat sekitar belasan kelompok kerajinan yang menekuni bidang ini.
Otomatis, terdapat persaingan dalam pemasaran hasil kerajinan mereka.
Mereka dibentuk atas permintaan pemerintah daerah lewat dinas terkait, guna mempermudah penyaluran bantuan dalam peningkatan usaha yang diwarisi para leluhur mereka menjadi home industry.
Sayangnya, harapan mereka untuk tersentuh bantuan pemerintah daerah, tidak begitu serius, pembinaan untuk pengembangan usaha mereka tidak berlangsung kontiyu. Ditambah lagi kurangya promosi pemerintah daerah akan hasil karya mereka, membuat usaha kerajinan gerabah di desa itu hanya berjalan seadanya, untuk menyambung hidup.
“Ya kadangkala lumayan, bila ada pesanan yang banyak. Hasilnya untuk keperluan keluarga saja, karena memang sulit untuk kita kembangkan lebih maju, bila tidak ada campur tangan pemerintah,”ungkapnya.
Nasib para perajin gerabah di Desa Ouw memang tidak sebagus, dengan para perajin gerabah di Pulau Jawa. Selain terkendala dengan masalah pasar, gerabah buatan warga Ouw pun harganya terbilang cukup murah. Sebut saja untuk sebuah pot anggrek, hanya dihargai sebesar Rp. 7.500. Tak heran bila Ny. Tince mengakui, hasil karyanya itu hanya sebatas untuk memenuhi kebutahan hidup.
Kondisi ini tentunya sangat berbeda jauh, bila dibandingkan dengan perajin di Pulau Jawa yang mematok harga diatas Rp. 50 ribu per buah. Maklum, perajin di Pulau Jawa memiliki akses pasar yang sangat menjanjikan, kemudian dibantu dengan campur tangan pemerintah yang cukup, dalam hal pembinaan dan pelatihan, kemudian ditambah bantuan berupa peralatan.
Padahal, untuk mendapatkan bentuk barang yang diinginkan, Tince dan perajin lainnya, harus duduk kurang lebih puluhan menit dengan tangan berlumur tanah liat. “Awalnya memang berat, butuh latihan yang lama. Tapi kemudian sudah terbiasa,”kata Alex salah satu perajin yang juga ditemui.
Sejarah pembuatan gerabah di Desa Ouw, Kecamatan Saparua, memang sudah tersohor hampir di seantero daerah Maluku. Konon, dahulu kala para leluhur di desa itu, sudah memiliki kepandaian mengolah tanah liat menjadi berbagai peralatan rumah tangga. Hampir serupa dengan kerajinan pandai besi di Desa Iha, Kecamatan Saparua, yang juga kini diwariskan oleh para generasi berikutnya.
Kini home industri yang memiliki potensi ekonomi bagi masyarakat desa dan juga mampu mendatangkan pendapatan bagi daerah bila dikeloala dengan maksimal itu, terancam punah, bila tidak mendapatkan perhatian serius dari pemerintah daerah dan pihak-pihak terkait lainnya. Apalagi, untuk memasarkan hasil produksi ke kota Ambon, tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan para perajin, sehingga ancaman terhentinya produksi gerabah di desa tersebut makin terbuka, menyusul makin keringnya order dari konsumen dan bantuan kepada perajin dari pihak-pihak terkait.
Menyikapi persoalan pelik ini, Tince, Alex dan perajin setempat hanya bisa berharap, agar suatu saat hasil produksi gerabah yang dilakoni mampu kembali menembus pasar di tingkat nasional bahkan internasional. Apalagi, makin kondusifnya daerah Maluku pascakonflik ini.
Kembali Ke Atas Go down
Lihat profil user

Tidak ada komentar:

Posting Komentar